- Back to Home »
- ASAL MULA TERJADINYA KABUPATEN PATI (BABAD PATI)
Posted by : Unknown
Kamis, 10 April 2014
ASAL MULA TERJADINYA KABUPATEN PATI (BABAD PATI)
Pada suatu wilayah terdapatlah Kadipaten
Paranggaruda punya hajat mengawinkan putera satu-satunya yang bernama R. Jaseri
atau lebih terkenal dengan sebutan Menak Jasari dengan putri Adipati Carangsoko
bernama Dewi Ruyung Wulan. Menak Jasari adalah pemuda yang fisiknya cacat, dan
berwajah jelek. Hingga membuat Dewi Ruyung Wulan menolak untuk didekatinya.
Namun karena paksaan orang tua maka mau tidak mau Dewi Ruyung Wulan harus
menerima R. Jaseri sebagai suaminya.
Pesta perkawinan telah berlangsung, Dewi
Ruyung Wulan yang sedang bersedih, ia meminta pestanya harus diadakan pagelaran
wayang yang dimeriahkan wayang purwo (wayang kulit) dengan dalang Ki Soponyono
yang sangat terkenal sebagai dalang yang mampu membawakan beberapa karakter
tokoh yang ada dalam cerita Mahabarata dan Ramayana sehingga banyak penonton
yang terbius seolah cerita itu hidup.
Dalang Soponyono kebingungan atas permintaan yang diajukan oleh
Dewi Ruyung Wulan, namun Hal ini hanyalah merupakan taktik dari Dewi untuk
mengulur-ulur pernikahan. Dan agar pernikahan ini dapat digagalkan sebab
sebetulnya ia tidak mencintai R. Jasari calon suaminnya. Pernikahan yang tidak
dilandasi cinta akan menyakitkan dan dapat melemahkan semangat untuk hidup
berumah tangga.
Ia berpesan kepada Dalang Saponyono untuk mencari cerita pewayangan yang
mirip dengan cerita kisah sedihnya. Biar semua orang tahu rintihan hati Dewi
Ruyung Wulan.
Dalang Soponyono menjalankan tugas
sebisanya. Karena merasa tertantang untuk membawakan cerita wayang yang tidak
sewajarnya, sebab lakon wayang yang biasa dibawakan dalam acara pernikahan
adalah wayang yang alur ceritanya berakhir dengan kebahagiaan, namun kali ini
dalang Soponyono harus membawakan wayang dengan cerita yang berakhir sedih. Hal
ini pasti mendapat protes sama penonton. Namunbagaimanapun juga Dalang
Soponyono harus memantaskan sebab Dewi Ruyung Wulan tidak mau duduk di singgasana
pengantin kalau permintaannya tidak dituruti. Akhirnya Dalang Soponyono
menuruti permintaan Dewi Ruyung Wulan. Ia ditemani oleh dua orang adiknya yang
cantik-cantik bernama Ambarsari dan Ambarwati yang bertindak sebagai Waranggono
Swarawati.
R. Jaseri hatinya berbunga-bunga dapat
bersanding dengan Dewi Ruyung Wulan di pelaminan. Air liur R. Jaseri selalu
menetes bila melihat kecantikannya. Tangannya mulai nakal mencolak-colek pipi
Dewi Ruyung Wulan. Sehingga membuatnya tidak nyaman. Tengah asyik-asyiknya
pagelaran berlangsung, terjadilah keributan yang ditimbulkan Dewi Rayung Wulan.
Ia lari dari pelaminan dan menjatuhkan diri di atas pangkauan Dalang Soponyono,
Dewi Ruyung Wulan telah hanyut dalam cerita pewayangan, ia terpesona dan jatuh
cinta kepada Dalang Soponyono yang wajahnya lebih tampan dan pandai
memainkan cerita wayang daripada Raden Jaseri yang selalu mengumbar nafsu
birahinya.
“Bawa aku lari kakang Soponyono, kalau
tidak lebih baik aku mati saja!”
Hal ini tentu saja mengejutkan semua tamu yang hadir terutama orang tua kedua
mempelai. Ki Dalang sendiri juga terkejut dan takut, maka Ki Dalang
mengeluarkan kesaktiannya, untuk memadamkan semua lampu yang berada di
Kadipaten Carangsoko.
Keadaan yang gelap gulita itu, membuat
panik yang hadir dalam perjamuan tersebut, kesempatan ini dimanfaatkan Ki
Soponyono melarikan diri diikuti oleh kedua adiknya dan Dewi Ruyung Wulan.
Sang Adipati Carangsoko Puspo Handung
Joyo sangat marah sekali. Ia memanggil Patihnya Singopadu untuk segera
mengatasi keadaan ini.
“Cepat perintahkan prajurit untuk
menyalakan lampunya.” para prajurit bergegas menyalakan lampunya.
Setelah lampu menyala, Raden Jaseri
bergulung-gulung di lantai karena calon istrinya raib bersama Dalang
Soponyono.
Adipati Paranggarudo memerintahkan
patihnya Singopadu untuk segera mepersiapkan prajurit, mengejar Dalang
Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan.
Prajurit menyebar ke seluruh desa,
memasuki rumah-rumah dengan tidak sopan santun dan kasar. Rakyat
Carangsoko menjadi ketakutan, mereka berlari berhamburan menyelamatkan diri.
Prajurit menggeledah semua rumah penduduk barangkali mereka bersembunyi di
dalam rumah penduduk dan barang siapa berani melindungnya akan dihukum. Hal ini
membuat Adipati Puspo Handung Joyo kurang senang, yang dicari burunan Dalang
Soponyono bukan rumah rakyat yang dirusak. Adipati Paranggarudo tidak mau
peduli, yang penting adalah Soponyono harus ketangkap mati atau hidup. Karena
telah menghina kewibawaan Adipati Paranggarudo.
Ki Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan yang
disertai adik-adiknya berlari terus menuju hutan, mereka berjalan mengikuti
alur sungai. Ki Soponyono juga mengadakan perlawanan kepada para pengejar
walaupun sia-sia, karena tidak seimbang jumlah pengejar dan yang dikejar.
Keluar hutan masuk hutan, Dewi Ruyung Wulan menanggalkan pakaian kebesaran,
kemudian dia menukarkan dengan baju penduduk setempat, mereka menyamar menjadi
penduduk desa, agar tidak menjadi perhatian penduduk.
Sampailah mereka di Dukuh Bantengan (Trangkil)
wilayah Panewon Majasemi. Panasnya Terik Matahari di siang hari membuat keempat
orang tersebut kehausan. Musim kemarau yang panjang membuat mata air kering
sehingga amat berharganya air. Mereka terus berjalan untuk mendapatkan seteguk
air. Mereka duduk di bawah pohon besar yang kering, setelah berlari tanpa
berhenti merupakan siksaan terlebih bagi ketiga orang putri terutama Dewi
Ruyung Wulan yang tidak pernah bekerja berat dan berjalan jauh. Rasa haus
bagi ketiga putri tersebut sudah tak terhankan lagi, untuk meneruskan
perjalanannya sudah tidak mungkinkan lagi.
Karena hausnya mereka berlari mengejar
daratan yang penuh dengan sumber air setelah didekati ternyata hanya sebuah
fatamorgana. Mereka berjalan tertatih-tatih, sampailah mereka disebuah sawah
yang sunyi tidak ada sumurnya, dan sungai disekitarnya sudah kering karena
kemarau panjang itu. Melihat hal itu Ki Soponyono sangat bingung hatinya karena
akan meminta air pada penduduk tidak berani, takut bertemu pengejarnya. Maka
jalan satu-satunya adalah mencuri semangka atau mentimun yang ada di sawah
tersebut.
Mereka tidak menyadari bahwa semua
bergerak-geraknya diawasi dari jauh oleh pemilik sawah yaitu adik dari Panewu
Sukmoyono yang bernama Raden Kembang Joyo. Berdasarkan laporan penduduk
bahwa sawahnya sering dirusak oleh binatang-binatang seperti kerbau, kancil.
Namun kali ini Kembang Joyo kaget ternyata yang selama ini yang merusak
tanamannya bukan binatang tapi manusia. Kembang Joyo memerintahkan anak
buahnya untuk mengepung sawah tersebut.
“Ternyata selama ini yang merusak
tanaman-tanaman kami adalah kamu! Ya maling! Tangkap.” terjadilah perang antara
Ki Soponyono dengan anak buahnya Kembang Joyo, mereka semua dapat dilumpuhkan
oleh Soponyono. Akhirnya Kembang Joyo turun tangan mereka berdua bertarung
ditengah sawah. Dari kejauhan tiga putri itu bersembunyi menyaksikan
pertarungan tersebut, karena dianggap pasukan Paranggarudo. Namun tanpa daya Ki
Soponyono melawan R. KembangJoyo, karena Kembang Joyo lebih sakti dari Ki
Soponyono.
Ki Soponyono ditlikung kakinya, kemudian
tangannya diikat dengan tali dadung.
“Saya mencuri karena terpaksa Ndoro.”
“Yang namanya maling juga terpaksa
semua.”
Sejurus dengan itu keluarlah Dewi Ruyung
Wulan beserta kedua adik Dalang Soponyono.
“Lepaskan kakang Soponyono, yang kamu
buru aku kan, aku boleh kamu bawa asalkan Kakang Soponyono dilepaskan dahulu.”
Dewi Ruyung Wulan mengira bahwa yang menangkap Dalang Soponyono adalah Pasukan
Paranggarudo. Kembang Joyo menjadi heran ternyata maling yang ditangkapnya
membawa tiga orang gadis yang cantik-cantik. Namun karena Kembang Joyo hanya
ditugaskan untuk menjaga sawah milik kakaknya, makanya ia tetap merangket
keempat orang tersebut.
Mereka berempat menjadi tawanan R.
Kembang Joyo, kemudian mereka dihadapkan kepada Penewu Sukmoyono untuk diminta
penjelasannnya. Ki Soponyono memerkenalkan satu persatu kawan-kawannya.
Selanjutnya ia menceritakan semua kejadian-kejadian yang telah dialami, mengapa
mereka sampai dikejar-kejar pasukan Parang Garudo, mereka terpaksa mencuri
semangka dan mentimun milik Raden KembangJoyo, karena kehausan dan lapar.
Mendengar penuturan Ki Soponyono tersebut Penewu Sukmayono merasa kasihan dan
tidak sampai hati untuk menjatuhi hukuman. Penewu Sukmayono bersedia menampung
dan melindungi mereka.
“Tinggal di sini semaumu, masalah
Paranggarudo biar kami yang akan menghadapinya.” Sukmoyono mempersilakan Dalang
Soponyono, dan ketiga putri untuk beristirahat dahulu.
Sebagai rasa terima kasih yang tak
terhingga atas segala kebaikan Sukmoyono, Ki Soponyono mempersembahkan kedua
adiknya kepada Sang Penewu untuk dijadikan hambanya. Persembahan tersebut
diterima dengan senang hati. Akhirnya Ambarsari diperistri oleh Penewu sebagai
selir, sedangkan Ambarwati diberikan kepada R.Kembang Joyo untuk dijadikan istrinya.
Sedangkan Dewi Ruyung Wulan akan dikembalikan kepada bapaknya Adipati Carang
Soko, Puspo Handung Joyo.
Yuyu Rumpung pembesar dari Kemaguhan
yang juga merupakan anak buah Paranggarudo tahu kalau keris Rambut Pinutung
dengan Kuluk Kanigoro adalah pusaka hebat yang dimiliki Sukmoyono. Yuyu Rumpung
memerintahkan anak buahnya. Yang bernama Sondong Majeruk untuk mengambil kedua
pusaka tersebut. Akan tetapi sebelum dapat diserahkan kepada Yuyu Rumpung sudah
dapat diketahui Sondong Makerti sehingga terjadi pertempuran, Sondong
Majeruk kelelahan kehabisan tenaga hingga mau mati, keris Rambut Pinutung yang
dibawa Sondong Makerti berhasil menusuk perut Sondong Majeruk hingga tewas.
Selamatlah keris Rambut Pinutung tidak bisa dibawa oleh Sondong Majeruk. Yuyu Rumpung
murka kemudian memerintahkan segera menyerbu Majasemi bergabung dengan Pasukan
Yudhopati dengan patih Singopati.
Sementera itu para prajurit Parang
Garudo masih saja melakukan pengejaran dan penggeledahan di rumah-rumah
penduduk. Sampailah mereka di Majasemi. Betapa marahnya Adipati Yudhopati
ketika mendapat laporan bahwa buronan Dalang Soponyono, Dewi Ruyung Wulan
bersama kedua adik Soponyono berada Di Majasemi mereka dilindungi oleh Penewu
Sukmayono.
Maka terjadilah pertempuran yang sangat
seru banyak korban yang berjatuhan, juga Ki Penewu Sukmoyono gugur dalam
pertempuran itu. Mendengar Penewu Sukmayono gugur, Raden Kembang Joyo
mengamuk dengan memegang keris Rambut Pinutung dengan Kuluk Kanigoro
menghancurkan Pasukan Paranggarudo. Mereka dibantu oleh pasukan Carangsoko,
pertempuran dahsyat antara Patih Singopati dengan Patih Singopadu, memporsir
energi sehingga keduanya gugur di medan laga. Pertempuran di Majasemi berakhir
dengan membawa banyak korban.
Ki Soponyono mengantarkan Dewi Ruyung
Wulan bersama-sama dengan Raden Kembang Joyo. Sebagai ucapan terima kasih,
Dewi Ruyung Wulan diberikan kepada Raden Kembang Joyo untuk dijadikan istrinya,
karena Kembang Joyo berhasil mengalahkan Yudho Pati adipati Paranggarudo
kemudian ia menetap di Carangsoko menggantikan Puspo Handung Joyo sebagai
pemimpin Kadipaten. Ia juga diangkat menjadi Adipati setelah menggabungkan tiga
kadipaten yaitu Paranggarudo, Carangsoko dan Majasemi menjadi satu kadipaten
Pati.
Peleburan itu telah menciptakan kerukunan dari tiga kadipaten yang bertikai,
untuk lebih memantapkan dalam memimpin kadipaten, ia mengajak Dalang Soponyono
untuk memperluas wilayah kekuasaannya, dan mencari lokasi yang baik sebagai
pusat pemerintahan, raden KembangJoyo dan Raden Soponyono menuju Hutan
Kemiri, dan segeralah hutan tersebut dibabat untuk Kadipaten/pusat
pemerintahan.
Alas (Hutan) Kemiri dihuni oleh beberapa
binatang Singa, Gajah dan binatang buas lainnya, selain itu juga dihuni oleh
kerajaan siluman, Kembang Joyo dan Dalang Soponyono bahu-membahu melawan
kerajaan Siluman tersebut. Akhirnya dengan kesaktian Kembang Joyo pemimpin
Siluman menyerah. Untuk menangkal makhluk-makluk halus Dalang Sopoyono
selamatan dengan memainkan wayang di hutan Kemiri. Sirnalah pemimpin Siluman
beserta anak buahnya lari dari hutan kemiri.
Esok harinya Kembang Joyo dan Dalang
Soponyono beserta parajurit Carangsoko melanjutkan pekerjaannya membuka Hutan
Kemiri menjadi perkampungan, di tengah mereka sedang membuka hutan
datanglah seorang laki-laki memikul gentong yang berisi air.
“Berhenti kisanak!, siapa namamu dan apa
yang sedang kau pikul itu?”
“Saya Ki Sagola, yang gentong yang
kupikul ini berisi Dawet, aku terbiasa berjualan lewat sini.”
“Dawet itu minuman apa? Coba saya
minta dibuatkan, prajurit-prajurit saya ini juga dibuatkan!”
“ Kenapa hutan ini kok ditebangi? Kasihan
para binatang pada lari ke gunung?”
“Kami sedang membuka hutan ini untuk
perkampungan baru, agar kelak dapat menjadi kota raja yang makmur, gemah ripah
loh jinawi, sebab daerah kami dulu sudah tidak memungkinkan kita tempati akibat
perang Saudara.”
Raden Kembang Joyo merasa terkesan akan
minuman Dawet yang manis dan segar, maka ia bertanya pada Ki Sagola tentang
minuman yang baru diminumnya. Ki Sagola menceritakan bahwa minuman ini terbuat
dari Pati Aren yang diberi Santan kelapa, gula aren/kelapa.
Mendengar jawaban itu Raden Kembang Joyo
terispirasi, kelak kalau pembukaan hutan ini selesai akan diberi nama Kadipaten
Pati-Pesantenan. Dalam perkembangannya Kadipaten Pati-Pesantenan menjadi makmur
gemah ripah loh jinawi dibawah kepemimpinan Kembang Joyo.
TRANSLATE
Diberdayakan oleh Blogger.